Tuesday, November 16, 2010

Han Jung Nok - The Memoirs of Lady Hyegyong - an Overview

Note :
Mungkin terharu karena Jeongjo harus membakar Geum Deung Ji Sa dan tidak bisa memenuhi wasiat ayahnya. Raja sebaik itu harus berkorban karena tekanan politik, mungkin juga kagum dengan visi dan mimpi Jeongjo, sehingga aku cari dokumen tentang Memoirs of Lady Hyegyong (Ibu Jeongjo) dan mempelajarinya.

Mungkin juga karena ingin tahu orang seperti apa Sado Seja itu, apa benar dia "gila"? Postingan ini sebenarnya adalah catatan pribadiku. Jadi sorry kalau isinya banyak :)

The Memoirs of Lady Hyegyong
The Autobiographical Writings of a Crown Princess of Eighteenth-Century Korea
(JaHyun Kim Habous)

329 hlm, April 1996
USD 26.95

Hanjung nok, yang sering diterjemahkan sebagai "Catatan yang dibuat dalam penderitaan", terdiri dari serangkaian otobiografi yang ditulis oleh Lady Hong, janda Putera Mahkota Sado, yang dihukum mati tahun 1762, oleh ayahnya sendiri, Raja Yeongjo. Dengan cara dikubur hidup-hidup dalam penyimpanan beras selama 9 hari.

Memoir ini diawali dengan masa kecil bahagia Lady Hong, sayangnya masa bahagia itu sangat singkat. Pada usia 9 tahun, tiba-tiba dan tanpa diduga, masa kecilnya berakhir ketika dia dipilih sebagai pendamping Putera Mahkota.

Bagi orang tuanya dan anggota keluarganya, pemilihan ini adalah kehormatan yang sangat besar, tapi bagi seorang anak usia 9 tahun ini bukan lain dari sebuah malapetaka, yang membuatnya terperanjat dan berduka cita. Dia terlalu muda untuk benar2 menghargai apa arti pemilihan ini baginya dan bagi keluarganya, dia putus asa dengan apa yang tiba-tiba terjadi dan menimpanya.

Kebingungan dan kepedihan-nya sangat jelas terasakan meskipun sudah setengah abad berlalu, ketika dia mengingat kembali setelah pemilihan yang menentukan itu :

Ketika aku tiba di rumah, tanduku dibawa masuk melewati ruang tamu, dan ayahku datang untuk membantuku keluar, mengenakan busana resmi. Ayah dan Ibu terlihat sangat bingung, dan juga sangat berbeda, sehingga aku menangis dan memeluk mereka berdua.
Ibu juga mengenakan busana resmi untuk upacara, dan menutupi meja dengan kain merah. Ibu bertindak sangat teratur, membungkuk empat kali saat menerima surat dari Ratu, dan dua kali saat menerima surat Lady Sonhui (Ibu Putera Mahkota).

Setelah itu, orang tuaku memanggilku dengan panggilan berbeda, menggunakan bahasa resmi untuk bercakap-cakap denganku. Para tetua di keluarga juga memperlakukanku dengan penuh hormat, membuatku malu. Ayahku, gelisah dan ketakutan, terus saja memperingatkan dan memberikan instruksi padaku mengenai banyak hal, seperti aku sudah melakukan suatu kejahatan, dan aku berharap aku bisa menyembunyikan diriku. Hatiku hancur karena aku mungkin harus meninggalkan orang tuaku dan tidak tertarik dengan apapun.

"Ketika hari pernikahan semakin mendekat, aku menangis terus karena aku akan meninggalkan orang tuaku," tulis Lady Hong, setengah abad lebih kemudian (kalau tidak salah setelah 60 tahun)

Hidup yang stabil dan bahagia

Sepuluh tahun pertama kehidupan-nya di istana relatif stabil dan bahagia. Sangat disayang oleh Raja Yeongjo, Ayah Mertua Raja-nya, dan Ladu Sonhui, Ibu Putera Mahkota.

Lady Hong mulai bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan istana dengan cepat dan sukses. Dan ketika ia melahirkan seorang anak lelaki (Jeongjo) calon penerus takhta, maka kesuksesan-nya sebagai pendamping Putera Mahkota tampak meyakinkan.

Di saat bersamaan, keluarganya juga makmur. Ayahnya, setelah lulus Ujian Sipil Tingkat Lanjut, langsung ditunjuk untuk menduduki posisi penting di pemerintahan. Tahun-tahun pertama ini sepertinya adalah saat2 paling membahagiakan baginya, kemudian datanglah tahun2 penuh penderitaan yang panjang di istana. Karena hidupnya akan segera dihadapkan dengan tragedi yang mengambil nyawa suaminya, Putera Mahkota.


Sado Seja

Lady Hong mencatat kalau awal mula Putera Mahkota mulai memiliki masalah dengan ayahnya adalah begitu dia lahir. Lady Hong menelusuri kembali, itu dimulai saat Raja Yeongjo memutuskan untuk menempatkan bayi mereka di istana tersendiri yang cukup jauh dari istana Raja. Menurut Lady Hong, jarak yang jauh akan membuat hubungan emosional juga semakin menjauh. Ini membuat hubungan ayah dan anak tidak baik :

"Penampilan fisik (Putra mahkota kecil, Sado) luar biasa, karakternya juga berbakti, ramah dan cerdas. Jadi, dia bisa menjadi orang yang paling berbudi luhur, jika orang tuanya bisa berdekatan dengannya dan mengajarnya, mencintainya, dan membimbingnya di saat bersamaan. Tapi justru, orang tuanya tinggal jauh darinya, sehingga kesalahan kecil itu jadi besar dan dengan berjalan-nya waktu, akhirnya terjadi pertentangan."

Putera Mahkota tumbuh dengan sedikit sekali bimbingan atau perhatian dari orang tua. Dikelilingi oleh banyak pelayan wanita yang mengijinkannya melakukan apapun keinginan-nya, membuat Putera Mahkota tidak disiplin, yang semakin tidak menyenangkan Raja. Lady Hong menjelaskan :

"...meskipun sulit menunjuk siapa sumber dari semakin bertentangan-nya antara Raja dan Putera Mahkota, tapi Putera Mahkota mulai merasa takut dengan ayahnya, sementara ayahnya mulai mencurigai kalau puteranya tidak tumbuh sesuai dengan harapan-nya dan ekspektasinya. Lebih lagi, karakter antara ayah dan anak benar-benar berbeda. Raja Yeongjo cerdas dan penuh kebaikan, sangat menguasai banyak hal, dan sigap bertindak, sementara Putera Mahkota segan dalam berbicara dan ragu-ragu dalam bertindak. Meskipun ia memiliki pemikiran yang mulia dan berbudi, dia tidak pernah bisa menjawab pertanyaan paling biasa. Dia selalu lambat menjawab, dan kalau itu Raja yang bertanya padanya, dia semakin tidak bisa menjawab, meskipun dia sebenarnya memiliki pendapatnya sendiri mengenai masalah itu. Dia selalu bertanya-tanya bagaimana menjawabnya, yang membuat kecewa Raja."

Tidak Ada Perhatian Untuk Anaknya

Tidak adanya perhatian antara ayah dan anak semakin membuat buruk keadaan. Sang ayah, kurang mengerti dan memperhatikan anaknya, menjadi tidak bahagia dengan anaknya.
Sang anak, semakin ketakutan dan semakin sakit hati dengan kekerasan ayahnya pada dirinya. Ini semakin memburuk sehingga setiap kali mereka bertemu, kemarahan Raja pada anaknya mendominasi kasih sayang Raja untuk Putera Mahkota.

Putera Mahkota, selalu ketakutan melihat Raja dan bertindak sangat hati-hati, seolah-olah anggota dewan adalah cobaan berat yang harus ia hadapi. Ini semua menjadi penghalang besar antara keduanya. Lady hong mengingat mulailah "kesakitan" Putera Mahkota muncul karena ketakutan-nya akan Ah Ba Mama dan kegagalan Putera Mahkota untuk mendapatkan kasih sayang Raja. Lady Hong menulis :

"Putera Mahkota selalu berbakti pada orang tuanya, tapi tidak pernah bisa mengungkapkan perasaan-nya secara terbuka. Raja tidak pernah mengerti anaknya dan selalu memperlihatkan ketidak-sukaan dalam kata-kata dan tindakan-nya, dan tidak bisa memaafkan anaknya. Ini membuat Putera Mahkota menjadi semakin ketakutan pada ayahnya, sampai akhirnya dia jatuh sakit. Di saat-saat ini, dia akan menyalurkan emosinya pada para kasim dan juga dayang-dayang, atau bahkan, seringkali, pada diriku."

(Note : Kalau istilah kejiwaan sekarang mungkin anak itu tergolong introvert, tapi berkembang jadi abusive)

Sepertinya penyakit ini - sejenis kegilaan yang menguasai Putera Mahkota dalam waktu tertentu - yang membuatnya menjadi "phobia pakaian" (Note : kalau tidak salah Sado lebih suka mengenakan pakaian berkabung) dan juga melakukan pembunuhan dan pemerkosaan pada dayang dan pelayan bersamaan dengan kebrutalan-nya melawan keluarganya sendiri dan dirinya sendiri.


King Yeongjo (Left) and King Jeongjo (Right)

Kerenggangan Ayah dan Anak

Sekitar bagian tengah memoir ada ilustrasi yang menunjukkan perkembangan tragedi antara Ah Ba Mama dan puteranya. Raja Yeongjo, yang marah dengan pembunuhan yang dilakukan Putera Mahkota, mengunjunginya tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan untuk melihat masalah ini sendiri. Yeongjo tanya apa laporan kejahatan-nya itu benar. Tanpa ingin berusaha menyembunyikan-nya, Putera Mahkota dengan bebas mengakui kesalahan-nya, dan mencoba menjelaskan kelakuan-nya dengan berkata :

"Ini mengurangi kemarahan terpendam saya, Yang Mulia, membunuh orang atau binatang di saat saya merasa menderita atau dalam tekanan."
"Raja bertanya, mengapa demikian?"
"Karena saya terluka, jawab Putera Mahkota"
"Mengapa kau terluka? Tanya Raja"
"Saya terluka karena Anda tidak mencintai saya dan juga, saya ketakutan pada anda karena anda terus saja memarahi saya, Yang Mulia."
...Raja tampaknya mulai merasakan perasaan belas kasihan untuk anaknya. Raja menenangkan diri dan berkata, aku akan mengubahnya di masa mendatang."


"I am hurt because you do not love me and also, alas, I am terrified of you because you constantly rebuke me, Sire."


Satu insiden paling tidak terlupakan dalam memoir itu, yang juga menunjukkan kecerdasan luar biasa Lady Hong, terjadi sesaat setelah kematian tragis Putera Mahkota.

Meskipun kemarahan Raja Yeongjo pada anaknya terus berlanjut bahkan setelah kematian anaknya yang penuh siksaan, perhatian dan rasa cemasnya pada cucunya (yang sekarang jadi pewarisnya - calon Raja Jeongjo) menjadi meningkat karena tragedi ini.

Lady Hong, tahu benar akan posisi anaknya, melakukan apapun yang bisa ia lakukan untuk memastikan Raja tetap menyayangi puteranya. Lady Hong minta Raja membawa anaknya dan bertanggung jawab akan pendidikannya sebagai pewaris takhta, meskipun ini berarti dia harus berpisah dengan puteranya yang masih berusia 10 tahun.

Saat kritis terjadi sekitar setengah tahun setelah kematian Putera Mahkota, ketika Lady Hong menghadap Raja dan cucunya. Ketika Lady Hong akan pergi meninggalkan mereka, anaknya menangis tidak terkendali, tidak bisa menahan kesedihannya dipisahkan dari ibunya.
Melihat kesedihan cucunya, Raja Yeongjo mungkin sedikit kesal atau juga cemburu, berkata kalau sebaiknya cucunya tetap tinggal bersamanya. Lady Hong segera merasakan potensi ketidak sukaan Raja dan akan mengancam posisi puteranya, maka Lady Hong bisa melakukan hal yang terbaik, meskipun ini menghancurkan hatinya. Mengingat kejadian itu, dia menulis :

"Memikirkan kalau Raja mungkin akan merasa tersinggung, karena dengan semua kasih sayangnya pada cucunya, anak itu menolak semuanya karena merindukan ibunya, aku berkata, Jika dia harus pergi dengan saya, dia akan merindukan Yang Mulia, jika dia pergi dengan Yang Mulia, dia akan merindukan saya. Jadi tolong ambil saja dia, karena dia juga akan merasakan hal yang seperti ini kalau jauh dari Yang Mulia."

Kesedihan Ibu


Yang membuatnya sedih bukan karena penderitaan-nya sendiri tapi anaknya yang berusia 10 tahun tidak bahagia karena dipisahkan darinya, khususnya karena dia melihat anaknya "menangis sedih karena ibunya tidak menyayanginya dan memaksanya untuk pergi." Dia benar2 kuat. Menekan perasaan-nya sendiri, dia berhasil mempertahankan ego Raja dan memastikan posisi putranya. Raja, senang dengan jawaban Lady Hong dan pergi membawa putranya.

Meskipun fokus utama Han Jung Nok adalah tragedi Putera Mahkota Sado dan Lady Hong, tapi dalam memoir itu juga mencatat tragedi yang lebih besar lagi.

Di bagian kedua memoirnya, dia mencatat tragedi yang menghancurkan dirinya dan keluarganya setelah kematian Putera Mahkota Sado, seperti ayahnya yang dicabut jabatan-nya dan juga eksekusi tidak adil atas paman dan kakak-nya oleh anak dan cucu-nya sendiri (Raja Jeongjo dan Sunjo).

Tentu saja, ini lebih menyakitkan daripada apapun, karena dia menyalahkan dirinya atas kematian mereka. Selama itu, dia berusaha membersihkan nama ayahnya yang dituduh berkonspirasi membunuh Putera Mahkota Sado dan bahkan dituduh menyediakan tempat penyimpanan beras dimana Putera Mahkota dikubur hidup-hidup sampai meninggal dunia.

Dalam catatan-nya, dia menegaskan kalau ayahnya, sebaliknya sudah melakukan segala cara untuk melindungi Putera Mahkota, dirinya sendiri, dan cucunya. Ayahnya bahkan mempertaruhkan diri dan selalu bermuka manis di depan Raja setelah kematian Putera Mahkota Sado, dan kemudian ini digunakan sebagai bukti oleh musuhnya kalau ayahnya sudah bekerja sama dengan Raja untuk mengeksekusi Putera Mahkota.

Menangis kepada Surga

Di bagian akhir memoir-nya tertulis ketika dia dalam usia 60-an dan 70-an tahun, Lady Hong menangis terus menerus pada surga, mempertanyakan mengapa dia dan keluarganya harus menderita begitu banyak dan juga sangat tidak adil.

Di tahun 1805, di usia 70 tahun, dia kembali ke ingatan-nya satu kali lagi, untuk memberikan catatan-nya sendiri pada kejadian tahun 1762 agar Raja Sunjo, cucunya, ketika dewasa nanti, bisa melakukan keadilan untuk keluarganya dari pihak nenek.

Dia menulis kalau hidupnya sudah menjadi "satu serial bencana yang panjang, dan seperti benang katun yang dipintal dengan indah" dan setiap kata dari memoir itu benar-benar direndam dalam darah dan air matanya.

Hanjung nok is a work of unforgettable vividness, drama, and insight, making it perhaps one of the greatest memoirs composed in han'gul.

a review by Prof. Kichung Kim, English Dept, of San jose State University.



Another Review - by Ed Park



A page from Hanjung nok by Princess Hyegyong
(Seoul, Posungmunhwa, 1978).

Penyimpanan beras, bukan tempat yang bagus untuk mati, 4 kaki kubik, diikat dengan tambang dan ditutup dengan rumput/jerami. Tanpa makanan dan udara. Dan jika itu suamimu yang diletakkan di dalamnya, bisa dimengerti kalau 4 dekade kemudian kau mengatakan penyimpanan itu sebagai "benda itu."

Tahun 1762, Raja Yeongjo memerintah anaknya sendiri Putera Mahkota Sado memanjat masuk ke penyimpanan beras dan masa kegelapan ini dicatat oleh Lady Hyegyong, janda Sado.

Bertahun-tahun, Sado memperlihatkan tingkah laku yang aneh, mungkin yang paling aneh adalah kesulitan-nya dalam berpakaian, suatu masalah yang kadang kala berakhir dengan pembunuhan pelayan yang melayaninya. Dia menghias kediaman-nya seperti ruang pemakaman, dan baju yang ia kenakan setelah berusaha keras, adalah kain katun tanpa warna dengan ikat pinggang, mirip dengan jubah berkabung Korea.

Penyakit Sado (menurut Lady Hyegyong) telah "menyebar dalam dirinya seperti air membasahi kertas," sampai diketahui oleh ayahnya. Yang menimbulkan kemarahan bukan hanya dalam negara tapi juga melanggar ajaran Konfusius tentang berbakti, yang membuatnya menghadapi penyimpanan beras. (Sesuai tradisi, anggota keluarga Raja tidak bisa dieksekusi dengan menumpahkan darah, seperti ditikam atau dipenggal.) Delapan hari kemudian, mungkin selama hujan badai petir (Sado sangat takut petir, phobia kronis), Sado meninggal dunia.

Bagian yang membuat memoir ini sangat mencekam adalah ancaman penghapusan, yang hadir sejak awal. Seperti nama asli/lahir Lady Hyegyong sama sekali tidak diketahui, dihapus oleh tradisi dari catatan keluarga karena dia dipilih sebagai istri Sado.

Ayahnya adalah pelajar yang diangkat menjadi pejabat tinggi begitu dia pindah ke istana. Ayahnya memberi nasihat untuk menyimpan surat2 resmi tentang kelahirannya di rumah. Meskipun ini sangat menyakitkan hati ayahnya. Di usia 60 tahun, atas permintaan seorang keponakan, dia memberanikan diri dan memulai kisah ini, kata pembukanya adalah : "Lalu keluargaku mengumpulkan semua surat-suratku dan sedikit demi sedikit, menghapus semua yang tertulis."

Lady Hyegyong menulis apa yang ia lakukan sepertinya bagaikan mujizat kecil. Dia menulis terus dan bukannya tanpa penyesalan, sebenarnya sebagai istri yang setia, seharusnya dia mengikuti kematian suaminya dengan bunuh diri. Tapi dia memilih untuk tetap hidup demi putranya, Jeongjo. "Pertahankan dirimu." kata ayahnya. "Amankan Pewaris Takhta." Rasa keibuan dan juga tanggung jawab membuatnya setuju, dengan konsekuensi publik yang harus ia hadapi.

Menurut Lady Hyegyong, akar yang membuat insiden imo (1762) adalah keputusan Raja Yeongjo kalau putranya akan "diadopsi" oleh kakak Sado yang sudah lama meninggal. Keputusan menjauhkan pewaris dari rasa bersalah ayahnya, tapi memicu lebih banyak lagi penderitaan.

Ketika Jeongjo jadi Raja th 1776, dia merasa menyesal tidak bisa (atas perintah Yeongjo) memberikan penghargaan penuh pada ayah kandungnya.

Menurut Lady Hyegyong, Jeongjo berniat memperbaiki ini tahun 1804, setelah memberikan takhtanya pada anaknya (Raja Sunjo), tapi sayangnya Jeongjo meninggal dunia tahun 1801.

Lady Hyegyong membawa dimensi kemanusiaan atas kematian sensasionalnya. "Orang melihat kalau karakter aslinya adalah baik," dia menulis, menceritakan kisah di istana atas masa kecil Sado dan saat-saat yang jelas di tengah penyakitnya dimana rasa baktinya masih tetap ada. Misalnya, air mata Sado yang tidak terbendung saat kematian Ratu (yang bukan ibu kandungnya). Tapi ketika ayahnya ada, dan terlihat, Sado diliputi ketakutan dan air matanya berhenti, membuat Yeongjo merasa muak karena menganggap Sado tidak menghormati Ratu.

Lady Hyegyong menyalahkan roh jahat, pelayan-pelayan yang buruk, ketertarikan pada permainan bela diri dan okultisme atas kekacauan mental Sado.

Lady Hyegyong merasa akar dari penyakit ini adalah pemindahan Sado dari kediaman orang tuanya ke kediaman Raja sebelumnya, dimana para pelayan-nya masih setia dengan ingatan akan Raja sebelumnya.
Alasan pemindahan ini adalah karena Yeongjo (putra Raja dan selir) naik takhta setelah pemerintahan singkat kakak-nya yang lebih berhak, Raja Gyeongjong dan menghadapi tuduhan kalau ia berkonspirasi yang menghantui Yeongjo. Memindahkan Sado ke kediaman Gyeongjong yang lama mungkin adalah cara Yeongjo untuk memperlihatkan bhaktinya dan ketidak-bersalahan-nya.

Terlalu cepat dan menyedihkan, hubungan antara Sado dan Yeongjo menjadi tegang, sampai mereka "seperti berperilaku satu sama lain hampir selalu tidak sesuai dengan keinginan-nya," ketika Yeongjo memberikan gelar resmi padanya (di usia 14 th), tekanan dari tugas administratif semakin membebani kondisi mentalnya. Yeongjo orang yang sangat kompeten, Raja yang hebat luar biasa, dia membuat pendekatan yang berani untuk menyelesaikan masalah partai di dewan. Tapi dia juga sangat percaya takhyul.

Lady Hyegyong mencatat kalau Yeongjo menyalahkan anaknya sendiri atas cuaca buruk, dan seringkali membersihkan telinganya sendiri setelah bicara dengan Sado, untuk mengusir sial. Tidak mengherankan, dengan mulai aktifnya Sado di pemerintahan, Yeongjo hanya memberikan "urusan suram dan tidak menguntungkan" padanya, seperti kasus-kasus kriminal.

Dia menceritakan hari saat Sado sekarat dengan ketepatan seorang novelis cerita detektif, sebagian untuk mengatur agar catatan apa adanya (begitu liarnya rumor di seputar insiden imo sampai, Lady Hyegyong mengatakan, "dalam beberapa tahun tidak ada seorangpun yang bisa mengatakan apa sebenarnya kejahatan-nya").

"Dalam saat-saat keruntuhanku," dia menulis, "Aku ingat hanya satu kata dari sepuluh ribu." Ini adalah kesedihan dari perintah luar biasa yang menyuruh.

Tapi mungkin akhirnya, ada keadilan juga, sampai sekarang kita masih bisa membaca kata-kata-nya yang mencatat semua penderitaan-nya.


The Palace


Geum Deung Ji Sa/ Jin Teng Zhi Ci

review by Song Won seop

GDJS adalah dokumen rahasia yang disimpan di sebuah kotak, dengan tujuan dibacakan isinya pada saatnya.

Dalam novel "The Eternal Empire" karya Lee In Hwa, GDJS adalah surat yang ditulis oleh Raja Yeongjo. Raja Yeongjo menyesal karena membiarkan anaknya, Putera Mahkota Sado dibunuh.


Dalam buku, Raja Jeongjo, anak Sado-seja, mencoba menghukum pihak konservatif garis keras, Noron byeokpa, yang menyebabkan kematian ayahnya, dengan mencoba menemukan dokumen rahasia yang lenyap bertahun-tahun, tapi akhirnya tidak berhasil menghukum mereka. Tapi sebagai hasilnya, rencana besarnya untuk melakukan serangkaian perombakan politik menemui kegagalan.

Dalam sejarah aslinya, GDJS bukanlah "dokumen rahasia."

28 Mei 1793, tahun ke-17 pemerintahan Jeongjo. Perdana Menteri Che Jegong, yang berasal dari partai lain, mendukung Raja untuk membuka kembali penyelidikan tentang insiden yang mendorong Sado-seja pada kematiannya.

Permintaan yang berlawanan dengan pemerintahan Raja Yeongjo. "Setiap orang yang mempertanyakan kematian Sado-seja akan dianggap sebagai penghianat," kata Yeongjo.

Dewan istana gempar. Jeongjo memanggil para anggota dewan dan memberikan penjelasan resmi pada mereka.

Intinya, Jeongjo berkata kalau Che Jegong menerima pernyataan tertulis dari mendiang Raja Yeongjo dan menyimpannya diam-diam. Dalam surat itu, Raja Yeongjo mengungkapkan penyesalan-nya atas kematian Sado-seja dan dengan spesifik menulis nama-nama mereka yang bertanggung jawab atas kematian Putera Mahkota.

Tidak seperti di novelnya, Raja Jeongjo tidak memicu kebencian karena dokumen rahasia itu. Melainkan, dia menggunakan-nya untuk membujuk partai oposisi "untuk bekerjasama dalam urusan negara karena dia tidak punya niat untuk mengungkit kembali masa lalu."

Lalu Raja menggunakan kerja sama mereka untuk mengimplementasikan perubahan besar2an dalam pajak dan kemiliteran untuk meningkatkan kehidupan rakyat.

Bukan kebetulan kalau Raja Jeongjo dihargai sebagai satu dari penguasa terbesar sepanjang Dinasti Joseon.

Sources and related links

Political leadership...Korea-google books

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.